Pages

Jumat, 24 Oktober 2014

Live In! Part 2

“Nanti sehabis sarapan, temani ibu ke ladang yang jauh itu ya! Mau kan? Atau ibu pergi sendiri saja?” kata Ibu kepada gue dan Nicole yang sedang mengambil sarapan pagi berupa nasi dan lauk-pauknya.
Disini, sarapan dan makan siang gak ada bedanya. Gak kayak di Jakarta, menu McD sarapan saja sampai dibedakan sama menu-menu lain, lewat dari jam sarapan sudah gak jual. Ah sok keren doang.
                “Mau dong bu!” seru gue
                “Tapi itu jauh loh, nak” balasnya. Gue bingung, ini ibu ngajak tapi malah labil, seolah pengen dua kecebong nyasar (gue dan Nicole) ga ikut ke ladang dan membiarkan kami di rumah ini terpenjara kesepian seperti jones (jomblo ngenes) yang hidup ditengah malam minggu.
                “Ahh.. Kan seru bu” bantah Nicole.


  Hari ini hari kedua live in. Hari kedua ini jauh lebih banyak kerja daripada main. Jadi tidak sesering seperti kemarin ketemuannya. Gue dan Nicole akan pergi ke ladang ibu yang katanya sih jauh. Tapi, sebagaimanapun, kita harus berani adventure dan menyatu dengan alam biar bisa tangguh seperti Tarzan dan bersatu seperti power ranger gitu.. BERSATU! Biar bolot kayak Dora dan Monyetnya, saling mengasihi dalam pelukan seperti Teletabis dan pedofil seperti Barney *Loh**apa banget* #GakNyambung.
  Kitapun mulai berjalan ke lokasi. Tentu gue gak kayak Dora dan monyetnya yang buta arah. Gue sudah memiliki navigasi dalam bentuk seorang ibu.
Dua puluh menit, tigapuluh menit berlalu. Memang benar, jaraknya cukup jauh. Tapi karena seru, kita gak peduli sama jauhnya itu. Kadang gue berhenti sebentar untuk mengambil foto. Namanya juga fotografer (gagal).
  Sesampainya di ladang ibu yang ternyata ladang kacang panjang itu, kita disuruh duduk sebentar untuk istirahat. Lima – enam menit berlalu. Kemudian baru kita mulai metik.
  Gue butuh satu menit untuk menyadari mana kacang panjang. Karena beda sekali dengan yang dijual di pasar Jakarta. Biasanya lebih pendek-kontet. Lah ini, panjang-panjang kebawah semua.
               
Jantan.
“Gila Nik, panjang-panjang semua” kata gue sembari memetik.
         “Iya. Bahkan ada yang melingkar. Yang melingkar gak usah dipotong, yang panjang aja yang dipotong” balasnya.
“Ibu, disini panjang-panjang semua ya!” Kata gue kepada Ibu asuh yang ada di bagian depan gue
“Iya, bahkan bisa sampai satu meter lebih!” jawabnya senang.

Sepertinya kalau ada yang mendengar dan tidak tahu apa-apa, pasti mereka nanggepinnya beda. Untung saja, saat itu tidak ada yang salah paham.
  Di ladang ibu ini bersifat tumpang sari, menanam lebih dari satu jenis. Jadi, selain ada kacang panjang, ada juga sawi yang ditanam di sela-sela tanaman kacang panjang. Dan disini itu sangat organik, tidak menggunakan bahan pestisida. Maka daun yang berlubang-lubang karena dimakan ulat, ya sudah, habislah mereka para sawi detik itu juga saat itu juga pada pembebasan dari siksaan dimakan ulat dalam bentuk kematian alias dicabut. Banyak sekali yang jatuh dalam pebebebasan dalam bentuk kematian tersebut. Mulai dari yang kecil hingga yang besar, ada juga satu sawi besar dan berdaun lebar yang dipenuhi lubang-lubang yang besar dan lebar pula, yang mungkin perbandingan antara daun yang sudah termakan dengan daun yang ada adalah 9/10. Daun yang parah banget itu gue cabut pastinya, sesuai dengan perintah ibu. Tapi kali ini tak langsung gue buang, melainkan gue robek satu-satu, helai per helai, karena gue penasaran kenapa bisa parah gitu. Helai pertama, ih banyak putih-putih-kuning-kuning gak jelas, mungkin eek ulat kali yah. Helai kedua, masih sama biasa saja. Helai ketiga,            
“AAAAAAA!!!!!” Teriak gue reflek dan langsung membuang sawi itu.
                “AAAA!” ternyata teriakan maut gue mengagetkan ibu gue dan Nicole.
                “Ih kamu bikin kaget saja!” kesal ibu.
  Kemudian gue menjelaskan disitu ada MAHKLUK TAK DIUNDANG!! SAYA INDIGO!
Gue melihat sesuatu kecil bergaris-garis hitam dan putih..
menggeliat dengan anggunnya,
ke helai daun selanjutnya. GUE INDIGO ULAT! ITU ULAT NGESELIN YANG BIKIN KAGET, BU!
 Beliau hanya tertawa mendengar penjelasan gue. Padahal, sebetulnya gue tidak takut akan ulat. Gue hanya kaget saja #MembelaDiri

  Setelah usai sudah pemetikan panjang-panjang, maksudnya kacang panjang. Kita meminta untuk istirahat dulu karena capai sekali. Sedangkan ibu, memeriksa lagi satu per satu agar tak satupun kacang panjang terlewat. Gue memakan makanan ringan yang dibawa dengan kekuatan sendiri. Ga peduli tangan kotor apa ga. Yang penting makan.
---
  Memetik kacang panjang ternyata menyisakan 23 goresan pada kaki gue akibat banyak tergores duri dan menghadiahkan penderitaan bersama kacang panjang di jalan, walau bawaan kacang panjang kita itu tak seberapa dengan ibu punya, kita tetap kelelahan. Gue jadi gak kebayang, ibu itu dalam usia tak lagi muda harus membawa kacang panjang yang berat sekali, lebih berat dari tas sekolah gue yang bagi gue itu sudah berat. Dan gue mulai menyadari dan baru merasakan dari penggalan puisi yang pernah gue baca.. 
"Kulit kakimu yang bersimbah darah, 
melawan kehidupan demi kami, anak-anakmu"
 Ibu, You're The Real MVP.


  Kemudian setelah itu semua, gue dan Nicolepun istirahat di rumah Pinky yang sedang ramai dikunjungi teman-teman. 
              “Gue kemarin mandi di kamar mandi tanpa pintu dan sebelahnya Sens (laki-laki)” kata pertama Leine yang gue dengar.
                “Biasa aja tuh” lanjutnya, membalas ekspresi kita yang bingung ini.
Oh iya gue lupa kasih tau, di kamar mandi yang tidak memiliki pintu itu berjumlah dua kamar mandi tetapi mereka hanya memiliki satu bak mandi besar. Jadi sesungguhnya, pembatas antara kamar satu dengan kamar selanjutnya hanya sebatas satu dinding. Jadi bisa saja kita melihat secara jelas orang sebelah lo. Dan kalau mendengar cerita Leine, itu rada serem sih.
                “Yang jelas lu mau kerja sama dengan dia. Gue sih bilang aja, ‘Lu ga liat, gue juga ga liat’” jelasnya.
                “Berarti kalau dia liat, kamu juga liat??” respon gue.
                “Nah iya!” jawab dia tanpa malu dan dilanjutkan ketawa heboh.
  Saat itu gue tidak kebayang.. Gimana rasanya mandi bersebelahan dengan cowo dan pintu tak tertutup dan juga bersama kamar mandi yang hanya dibatasi dinding tetapi tetap satu bak mandi dan kita bisa saling melihat. Gue berharap hal itu gak menimpa gue, tetapi ternyata alam semesta berkehendak lain, keburukan itu terjadi... 

  Karena gue males nunggu lama-lama di kamar mandi yang memiliki pintu, guepun mandi di tempat yang Leine mandi. Ya, yang tanpa pintu.
  Gue mandi ganti-gantian dengan Nicole. Selama Nicole mandi, gue jadi pintunya. Selama gue mandi, Nicolelah yang jadi pintunya. Tapi sebagaimanapun, kamar mandi ini gak 100% tertutup. Selain tidak ada pintu, di sisi sebelah kiri hanya bertembok setengah-atasan-dikit (60%). Jadi, bisa saja orang tetep liatin meski pintunya terjaga.
  Nicole mandi. Tentu, dia gak buka seluruh baju. Gue jagain. Dikarenakan menjaga orang itu butuh waktu yang lama dan membosankan, guepun nyanyi. Nyanyi kenceng-kenceng mumpung lagi sepi. Gue berdiri didepan kamar mandi, mengarah ke luar (luar sudah jurang) sambil nyanyi keras-keras. Gak lama, ada bapak-bapak yang lagi ambil air di kamar mandi berpintu yang terletak disamping kamar mandi ini,
                “Ngapain dek?”
Gue nengok,
                “Oh.. Eee.. Ini pak, ada yang lagi mandi. Saya lagi jagain” jawab gue gagap
  Gue baru sadar, ternyata kalau gue diliatin dari samping, gue itu sudah kayak orang yang mau bunuh diri ke jurang. Apalagi nyanyiin lagu-lagu melow semua dan sedang sepi. Atau paling tidak, gue dikira orang stress nyanyi didepan kamar mandi dengan tatapan kosong. Serem juga.
   Kira-kira 15 menit kemudian, Nicole keluar. Nicole selesai, giliran sekarang gue mandi. Gak sampai lima menit gue mandi (gue lagi sabunan), Esa (bergender laki-laki) dateng. Bolak balik dari kamar mandi tanpa pintu yang terletak tepat disebelah kamar mandi gue ke kamar mandi berpintu. Katanya sih lagi mau ambil air. Gue jadi ribet sendiri. Akhirnya gue mandi bebek. Selesai sudah, gue mau ganti baju. Kan gak mungkin gue pakai handuk jalan-jalan dari kamar mandi umum yang letaknya tak dekat dengan rumah gue. Kecuali Esco, si laki-laki gendut (atau kalau kata anak-anak desa itu gembrot) yang dengan santainya tanpa menggunakan celana apapun hanya berlapis handuk jalan dari kamar mandi ke rumah dia yang kira-kira membutuhkan 40 langkah. Akhirnya gue putuskan untuk ganti baju disitu. Baru mau membuka baju yang gue pakai saat mandi, tiba-tiba Gregegeg dan kawan-kawan dateng dengan alasan mau mandi. Gregegeg mandi disebelah kamar mandi gue, yang juga tak berpintu itu dan satu bak dengan kamar mandi yang gue tempati ini. Kalau dia, mandi dengan dua pengawal. Satu itu Iko yang menjaga dinding setengah-atasan-dikit terbuka itu, satu lagi Yeno yang menjaga pintu tersebut. Gue tambah ribet sendiri. GIMANA CARANYA GUE GANTI CELANA DALEM DI TENGAH COWO-COWO GINI?! Di lain sisi, Nicole benar-benar bekerja ekstra dalam menjaga gue. Dan sepertinya kami semua anak SMP yang baik, maka tentu menghormati itu untuk tidak melihat,
sepertinya.
                “Mar lu ngomong lagi ganti baju tapi itu sudah pakai baju!” teriak Iko dari samping
                “TAPI INI BAJU YANG SEBELUMNYA. BASAH NIH” gue membetulkan sambil menunjuk baju gue yang basah.
                “Ya tapi itu lu pakai apa?”
                “Baju.”
                “Ya udah, berarti lu pakai baju kan?”
                “...”
               Depresi.  
                “Tunggu.. BERARTI LU LIAT GUE DISAAT HAL ITU DILARANG? WAH NIKO YAH SEKARANG.. HADUH NIKO” tiba-tiba gue berpikir begitu.
                “Gue kan jaga Gregegeg, yasudah, berarti gue liat dia kan. Terus dari sini keliatan lu.” Tolaknya.
                “...”
  Akhirnya gue putuskan keputusan terakhir. Gue pakai baju dan celana gue sebelumnya, dan kemudian ganti baju, celana, dan segala isinya di rumah gue yang berjalan harus lebih jauh dari kamar mandi ke rumah Esco.
---
                “Gregegeg gendut banget astaga.. Berlipat-lipat tuh perutnya!” kata Nicole ditengah gue ganti baju di dalam kamar.
                “KAMU LIAT? ASTAGA NICOLE NICOLE” Tentu gue pasti merangkum perkataan Nicole menjadi, ‘Gue tadi liat Gregegeg mandi alias ga pakai baju!’. Pasti maksud yang sebenarnya adalah itu.
                “Ya abis tadi Yeno bilang, ‘Jangan Lihat Kesini!’ Ya kan Nicole liat Yeno kan.. Terus, tidak sengaja keliat Gregegeg dengan celana dalem hitam!” seru Nicole.
                “Wah Nicole yah..” canda gue
                “Apaan sih.. Kan gak sengajaaa”


  Ternyata sebuah kamar mandi tak berpintu saja memiliki banyak kisah dibalik dindingnya yang mulai kecokelatan, tanahnya yang berlumut, segarnya air, dan segala isinya. Dan tentu juga banyak orang mandi dibalik situ #Yaiyalah.

Hari kedua, ‘Menguak Kisahnya Kamar Mandi Tak Berpintu Ini..’ sungguh tak terlupakan. 

Minggu, 19 Oktober 2014

Live In! Part 1

"Mampus..Mampusssss... Mati... Mati" kata gue dalam hati yang sangat cemas ketika melihat essay UTS Biologi. 
"Gimana ya... Gak bisa keluar nih. Harus hadapin kenyataan, REMEDIAL sudah" pikir gue. Sampai sempat-sempatnya gue memikirkan cara escape dari penderitaan ini. Tapi sayangnya, gue gak sepintar orang yang ada di escape plan. Gue gak bisa ngehindar, gue harus hadapin.

Tapi, gak ada salahnya kan jadi seperti Ray Breslin (tokoh utama di escape plan). Gue mencoba membuat plan untuk menghindar: 
1. Pura-pura kesurupan (ini gue pernah baca dari komik komedi. Ini saran dia ketika tidak bisa UN)
2. Pura-pura pingsan
3. Lihat contekan. 
4. Lambaikan tanganmu pada kamera, maka bantuan akan segera datang. 

Tapi keempat-empatnya mustahil gue lakukan. Karena:
1. Sekali salah, fatal sudah. 
2. Alasannya sama kayak nomor satu
3. Gue gak pernah buat contekan. Toh juga gue itu anak jujur #ea. Gue kepikiran itu mungkin karena gue lagi dibisikin setan. 
Tapi tenang kok, guru-guruku tercintah, saya, Maria Michelle Angelica absen 18 kelas 82, hobi: tidur, tinggi: yang jelas pendek ini, tak pernah mencontek saat ULANGAN
Ya, saat ulangan, tak pernah. 
Ya, ulangan. kkkkk
PR?
...

 alasan keempat: Di sekolah gue tidak ada kamera gaiz. Jadi, ga bisa lambaikan tangan. 

  Akhirnya gue memilih untuk: JAWAB SEADANYA. Okefixsip. 
Sebenarnya tidak susah sih, alias, semuanya ada di buku, cuma aja itu sudah UTS terakhir, pelajaran terakhir, yang membuat kita (iya, bukan cuma gue doang gak bisa. Nyaris semuanya) malas belajar dan malah fokus ke yang lain. Apalagi ditambah besoknya langsungggggg......
LIVE IN, BROH!
Yomann! Live in! 'Kan jarang-jarang tuh teman-teman seangkatan bisa pergi bareng dalam jangka waktu panjang. Dan kalau gue bilang, tak perlu ada peraturan 'diwajibkan' seluruhnya sudah pasti ikut. Asik banget? Ga perlu ditanya. And we're so excited. 
  Tapi, ada sesuatu yang ganjil dengan kelompok gue... Ketika kelompok lain bertempat tinggal di desa yang memiliki 'teman' (Misal: Gantang I, Gantang II; Banyuurip I, Banyuurip II,dsb) Cuma desa gue doang, Desa Gadung yang tidak kenal istilah 'Gadung II'. Nahloh. Jangan-jangan, 
Terpencil.

  Tapi, berpikir positif aja. Toh juga teman-temannya semuanya asik-asik semua.. Sipdeh.

  Kemudian, gue melihat nama teman-teman yang berada di Bus 3, bus yang akan gue dudukin selama 12 jam. 
Gue tercekat, diam. Bukan karena ada gebetan gue disitu (gue gak punya gebetan, fyi), gue tercekat karena SEMUA YANG ADA DI BUS GUE ITU ANAK-ANAK BRUTAL alias gak bisa diem punya. Gerak mulu. HA - HA - HA. Beda banget dengan Bus 1, dimana anak-anaknya alim semua. 

Gue prediksi, pasti Bus 3 akan selalu online dan gak pernah offline, alias gak akan tidur. Dan benar saja. 
Kalau kata pak Fisis, 
"Anak-anak, kalau mau berisik, duduk di belakang. Biarkan anak-anak yang mau tidur di depan. Jangan ganggu anak-anak yang mau tidur."
Tapi realitanya di bus 3, baik yang paling depan maupun tengah maupun belakang, berisik semua. Gue salah satunya. Sampai-sampai guru pendamping di bus gue marah, menyuruh semuanya diam dan tidak mengganggu orang yang sedang tidur, karena waktu menunjukkan pukul malam menuju tengah malam. 
Setelah itu baru diam. Itupun masih ada suara samar-samar berisik. Mantap. 
Tapi, kalau gue seorang diri sih gak masalah dengan berisik. Gue bisa tidur dimana saja, kapan saja, seberisik apapun. Toh namanya juga hobi. 
---
  Berangkat pukul 13.30, sampai pukul 08.00 esok hari. 
Kita langsung disambut oleh Romo setempat. Oh iya, gue lupa kasih tau, gue live in kemana.. gue live in ke tempat yang pengen banget gue kunjungin dari kecil selain pantai yang bersih dan luas, dan ini tak pernah terwujud. Yaitu: pergi ke YOGYAKARTA! 

eh tunggu. 

Yogya itu Fieldtripnya (iya gue live in + Fieldtrip)
Oke, jadi gue live in diiiiiiii: *Drum rolls* *jeng jeng jeng* MAGELANG! *ba dem tsss*<-- suara drum.--

Romo paroki langsung menyambut kami dengan gembira. Kemudian berbicara apa yang harus kita lakukan, bla bla bla, dan lain sebagainya. Singkat cerita, desa gue yang disebut terlebih dahulu untuk angkat tas dan kabur  pergi ke desa tsb. Tanda-tanda nih kalau desa kita paling jauh.

  Kita pergi menggunakan truk pengangkut sapi. Tapi versi bersih punya. Rada serem sih, soalnya, penutup belakang hanya sebatas pergelangan kaki keatasan dikit. Jadi kalau pengemudinya rem mendadak, kita-kita yang dibelakang bisa jatuh,
Dan mati.
  Tapi ternyata, masalah ‘rem mendadak’ itu belum seberapa. Perjalanan menuju desa yang kita duga kuat itu terpencil, harus melewati jalan tanah yang dilapisi debu dan kiri tebing dan kanan jurang yang berakhir sungai kering penuh batu. Dan jalanannya hanya cukup satu truk. Salah-salah, beh, nikmat.
Untung saja, Puji Tuhan Halleluya Alhamdullilah, tak ada satupun dari kami yang mati. (diksinya keren kan? Iya. Gue tahu itu)

  Sesampainya disana, desa Gadung, sangat sepi, sunyi, dan tenang. Tak begitu banyak batang hidung manusia yang terlihat. Kebanyakan batang hidung sapi, anjing, dan ayam (walau batang hidung ayam tak terlihat, karena kekecilan, kaum mereka, tetap gue hitung sebagai ‘makhluk yang gue lihat batang hidungnya’).
Disini penuh rumah yang berdinding kayu bambu. Begitu sederhana. Hanya ada beberapa rumah yang berdinding batu, tapi bukan batu bata. Sekeliling mata memandang, hanya melihat sapi dan sapi. Kita disambut oleh ibu kepala desa, yang ternyata ia adalah ibu asuh gue. Rumahnya begitu sederhana, berdinding bambu, berubin tanah, dan cahaya rumah hanya bermodal pada matahari dan satu lampu neon yang dinyalakan saat malam hari saja. Bahkan dapur gelap gulita. Mereka tidak menggunakan kompor, melainkan kayu bakar. Dan di dapur terdapat pintu, dimana ketika kita keluar, kita akan bertatapan muka dengan sapi (jika sapi dikeluarkan dari kandangnya). Pantas saja penuh lalat. Kamar yang gue tempati tak memiliki pintu, melainkan hanya ditutupi sehelai kain alias hordeng. Tapi bagi gue yang biasa hidup sederhana #ea, dalam artian, tidak hidup ditengah kemewahan, itu semua cukup dan tidak kurang.

  Kemudian setelah semuanya menaruh tas di rumah masing-masing, tanpa aba-aba, kita semua (temen-temen sekolah yang hidup sementara di desa Gadung ini) keluar dan kumpul pada satu titik. Kita bosan. Sepi. Kita belum dapat pekerjaan, dengan alasan orangtua asuh kami: “Sudah, istirahat dulu saja”. Padahal, kita mau kerja, mau bergerak. Kita sangat bosan.
  Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang anak-anak SD pulang sekolah. Mereka dengan senang hati menerima kami. Dan tanpa ada basa-basi pengenalan yang  lama, kita semua langsunggg... CAPCUS MAINN!

  Mereka mengeluarkan kelereng, mengumpulkan kelereng kedalam satu lingkaran yang muat seluruh kelereng. Yap, mereka main kelereng. Gue, Nicole, Wesa, Ridwan melihat mereka main hingga beberapa sentilan, kemudian dengan gagahnya, Ridwan langsung berkata:

“Eh ini. Aku bisa main kelereng! Minta kelereng satu dong.” Pinta Ridwan dengan sifat sok-cowonya itu.

Yang foto itu gue loh. Penting. 


Diberilah ia kelereng yang paling beda dari yang lain, yang biasa digunakan pemain. Kemudian, tibalah gilirannya menyentil.
Tidak ada suara sentuhan apa-apa. Tidak ada suara tabrakan dengan kelereng lain.

“Haha kamu tidak bisa. Masa kalah sama anak SD!” ledek gadis cilik kelas 4 SD dengan suara medok khasnya, yang meledek Ridwan karena kelerengnya meleset jauh. Kemudian dilanjutkan tawa yang lain.

“GUE PASTI BISA!” tentangnya.
“Dengan kecepatan segini, dan gaya gravitasi sepuluh meter per sekon kuadrat, dan gaya gesek...hehehe” lanjutnya mengingat Fisika, yang sebenarnya gak berguna saat main kelereng kalau lu gak tahu massanya berapa, perubahan kecepatannya berapa, dan gaya geseknya berapa. Dia cuma lagi pengen terlihat pintar saja.

“Apaan sih Rid..” samber Nicole.
“Eh minta satu kelereng dong. Nicole mau main” lanjutnya. Ia menyentil, dan sama seperti Ridwan, tidak mengenai kelereng.

“Es samadengan Ve nol Te plus setengah a te kuadrat (S=Vo.t+1/2 a.t2, rumus jarak)” Yeh ternyata Nicole ikut-ikutan juga.
‘Plentang-Plenting’ suara kelereng berbunyi.

“YES!!! YESS!!! DAPET! 3 KELERENG!!” Teriak Nicole kegirangan. Di lain sisi, anak SD yang main kelereng itu, selalu mendapatkan lebih dari 5 kelereng.

  Anak-anak SD hanya melihat Nicole dengan sedikit senyum yang mungkin karena merasa lucu, ada anak yang lebih kampungan daripada mereka.

  Kemudian, setelah lama main kelereng, kita main kartu. Tepuk nyamuk misalnya.
Oh, kalau main tepuk nyamuk, kita ahlinya! YOMANNN kita menang mulu! Justru anak yang ledekin Ridwan, yang katanya bisa main itu, kalah mulu. Dan Ridwan menang mulu.

{Ya, kawan, hidup tak selalu di atas kasur, terkadang kita ngigau dan jatuh kebawah. Kalo masih ada niat bangun, bangunlah. Kalo masih ngantuk, yo wes tidur aja dibawah. Biar masuk angin *eh.}

  Hari pertama kita habiskan dengan beradaptasi dengan sekitar, bermain, dan berkeliling ladang. Belum banyak kerjaan di hari pertama.
Kita bercakap-cakap dengan orangtua – bermain dengan anak-anak desa – bercanda –melihat – beradaptasi .. Hingga keseruan kami tak mau menyadarkan kami kalau hari mulai berganti malam. Pukul 4 sore, katanya sih sudah mulai dingin dan pukul 6 malam sudah gelap gulita. Maka, kami memilih yang aman, mandi pukul 3 sore. Gue bingung dengan kamar mandi disini. Di setiap rumah tak ada yang namanya ‘Kamar Mandi dalam Rumah’. Semuanya diluar atau paling tidak, Kamar Mandi Umum. Ada 2 kamar mandi umum berpintu dan ada 2 kamar mandi tidak. Yang tidak berpintu itu maksudnya apaaaaa.... APAAAA????   
Yang jelas, gue mandi di tempat yang berpintu.

  Soal mandi beres. Saatnya makan malam. Makanan disini itu sangatlah enak dan lezat. Bukan peracik/dihidang sedemikian mewah sehingga enak, tidak. Emang karena makanan dasarnya seperti tahu, tempe, sayur itu enak-enak semua, yaiyalah, langsung dari kebun! Setelah makan, katanya ada doa rosario (doa kepada Ibu Maria, Ibunda Yesus. Atau pada agama Muslim sebutnya, Miriam, ya kan ya?). Tentu, gue datang. Lah, namanya bersekutu dalam doa, masa ga ikut sih? Yakali..

  Tentu yang ada di pikiran gue saat doa rosario adalah, doa yang khusuk, saling bergumam (berdoa) kadang-kadang, dan bergantian mendoakan ‘salam Maria’, seperti doa di lingkungan gue, dan tentu pasti menggunakan bahasa Indonesia.

“(bahasa Jawa) Buka puji syukur nomor 450” kata pemimpin doa.

Dengan reflek gue menjawab,
“Ha??”

Kemudian mereka sadar ada kita, anak-anak kota yang gak ngerti bahasa Jawa. Iapun mengatakannya dengan bahasa Indonesia. Oh palingan cuma awal doang pakai bahasa Jawa. Nyanyi, bahasa Jawa juga? Ah palingan itu doang, karena puji syukurnya bahasa Jawa. Kemudian pemimpin doa mengucapkan Aku Percaya..

Kawula pitados ing Allah, Rama Sang Mahakuwasa, ingkang nitahaken bumi langit. 
Saha ing Gusti Yesus Kristus, Putra Dalem ontang-anting, Pangeran kawula. 
Ingkang miyos saking Ibu Kenya Maria, kagarba dening kuwasa Dalem Hyang Roh Suci. 
Ingkang nandhang sangsara nalika jamanipun Ponsius Pilatus, saha kapenthang, seda sarta kasarekaken.......... 

Kita semua saling bertatap muka. KITA GAK NGERTI! NGOMONG OPO TOH???? Gue hanya bolak balik puji syukur jawa ini. Beberapa dari kami tertidur di tengah doa, seperti Esco, yang tertidur hingga ngorok.

Hari pertama, penuh dengan kecanggungan...