Pages

Minggu, 04 September 2016

[TAT] Angkatan 90an (2090-an maksudnya)

Masih edisi Throwback Aja Terus,
edisi: Mos 2013 dan kurikulum 2013.
-
Kangen aja terus,
Sampai hati lupa diurus.
-

Di tahun ajaran kurikulum 2013 ini, kami semua (kecuali kelas 9, mereka tidak mendapatkan kurikulum 2013 -_- Curang banget) mendapatkan bab-bab lebih banyak (tambahan) daripada KTSP sebelumnya. Katanya sih itu pelajaran SMA, namun ketika SMA baru benar-benar diperdalam. Ya, ini dasarnya. Nah, sejak tahu kurikulum 2013 kayak gitu (mempelajari pelajaran yang tidak seharusnya diajarkan pada kelas kecil) gue jadi sedikit mengerti kenapa setiap kali ketika gue masih di bangku SD, menanyakan pr ke orangtua gue, jawabannya pasti gini:
     “HAH? Inikan pelajaran SMP. Mama(/Papa) sudah lupa” jawabnya selalu.
Atau kadang ‘bergossip’ dengan keluarga tentang pelajaran masa kini...
     “Pelajaran anak sekarang tuh.. Aduh ribet banget. Gak kayak dulu”
     “Iya tuh.. Setiap malam kalau ditanyain pr.. haduh...” dilanjutkan dengan tawa khasnya ibu-ibu.
Jadi sekarang gue gak kebayang bagaimana keadaan pelajaran cicit gue pada masa mereka. When they are on 90’s (2090-an maksudnya).

Dan katatanya sih SMA sekarang (kurikulum 2013) diwajibkan membuat skripsi. Jadi mungkin saja  the 90’s bakal disuruh menerbitkan buku untuk tugasnya, dan masyarakat yang menilai. Misalnya kalau mau dapet nilai A++(ada gak sih?)harus masuk kedalam 10 best seller New York Times dan difilmkan oleh Hollywood, kalau mau A+ harus masuk ke national best seller tanpa harus di filmkan, kalau mau A harus masuk ke 10 best books di Gramedia, kalau diterbitkan dan di rekomendasikan oleh penerbitnya diberi B+, kalau diterbitkan saja B, kalau diterbitkan tapi tak ada yang mau beli, yang kemudian jatuh ke barisan buku-buku gak laku dan Sale up to 70% hanya mendapatkan C+, dan bila tidak diterbitkan C- atau ulang kembali. Dan bila masuk ke Mid Night Sale, berarti itu baju dan mahasiswanya salah buat.

Gak kebayang.

Mungkin mereka sudah tidak memakai buku, tetapi menggunakan Ipad transparent sebagai buku dengan alasan go green. Padahal nge-cas Ipad kan juga sama-sama memboroskan. Tapi mungkin juga mereka menggunakan tenaga solar.

Imajinasi gue kece banget.

And the 90’s kelas TK sudah belajar perkalian dan aljabar dasar; SD sudah disuruh membuat makalah, paper, dan kawan-kawannya itu; SMP sudah disuruh membuat skripsi; SMA sudah membuat tesis. Kuliah, ya tadi, membuat buku. Mungkin sedihnya, alfabet sudah diajarkan sejak lahir. It’s mean, sekolah pertama mereka adalah ketika mereka berumur 1 hari.

Remember, technology can change everything.

Juga, kata orang, semakin zaman ini modern semakin manusia-manusianya songong. Ada benarnya sih (walau gak semua songong). Jadi waktu gue me-MOSkan anak baru, ada satu anak yang benar-benar tidak disukai oleh kami para OSIS. Karena dia itu gak mau dengerin kita, bahkan harus kita marah dulu..
*Sesi Baris-bebaris*
Guru: TEGAK GRAK!
*Semua tegak*
*(Anggap saja namanya Beyn) Beyn santai, gak ngapa-ngapain*
Gue: Berdiri tuh yang tegak. Bisa gak?
Beyn: ... *kakinya bergerak, dan gue kira dia akan tegak. Tapi realitanya dia cuma mengganti tumpuan kaki dari yang kanan ke kiri, melenggengkan pinggangnya* 
Gue harus berpikir positif kan? Ya sudah, gue pikir dia itu memiliki penyakit tulang, jadi yowes, rapopo. Silahkan.
Namun terkadang, pikiran positif kita diabaikan oleh alam semesta. Sesuatu yang positif juga tidak berujung baik. Misal, positif dinyatakan Kanker; kan gak positif tuh.
“BERDIRI YANG BENAR!” suruh Ines dengan tegas
“Bacot lo”
Mungkin perdebatan terjadi.
Dan kesongongan-kesongongan dia lainnya.

Selain dia, juga ada bebarapa juga sih yang songong, tapi syukur terimakasih sekali masih ada juga yang gak. Selain sikap yang makin beda tiap tahunnya, tinggi mereka juga berbeda setiap tahunnya, semakin pendek. Entah gue yang tinggi, atau mereka memang pendek.

Idk about 90’s, mungkin kesongongan sudah membawa mereka berkata ‘gue-lu’ , punya pacar, berkata yang tidak seonoh sejak TK, dan mereka sudah mengenal cabe-cabean yang diganti dengan api-apian, karena api itu lebih panas daripada cabe (toh cabe juga gak panas, cuma pedas saja).

I don’t hope so.


Ohiya,


Mau gue kasih epilog yang tadi?




Setahun kemudian dia pindah sekolah. Dia, iya dia, Beyn. 

Sabtu, 03 September 2016

[TAT] Rumput yang Bergoyang

Throwback aja terus. edisi ke 2.
Gue kangen parah:') 
“Gue gak tahu jawabannya, makanya gue jawab aja: Tanyakan pada rumput yang bergoyang” bbm Pam ke gue. 
“BEGO HAHAHAHA” bales gue singkat, padat, jelas sambil cengengesan ngetik gituan.
Jadi, hari itu Pam – anak kelas sebelah, abis ulangan agama. Karena Agama KTP – Lebih tepatnya sih Ateis; gak ngerti apa-apa tentang pelajaran agama, doi dengan santainya menjawab itu.
Bahkan disaat utspun dia sempet ngejawab kayak gitu, tetapi kali ini di pelajaran Bahasa Inggris.

Where does he work?
-Ask the shaking grass.

Dan dengan bangganya Pam chat ke gua seperti dia sudah menyelesaikan misi CIA. Tapi ternyata spesies begituan gak Cuma Pam doang di sekolah gue. Ada juga temen gue, panggil saja Mawar, eh melati, dia menjawab aneh di pelajaran matematika

Soal: Apabila x membagi 3, balblabla

Jawaban: Maaf pak, sebelumnya saya tidak tahu jawabannya. Karena saya belum pernah membagi x dengan 3 . Jadi saya belum tahu jawabannya. Karena hanya Tuhan yang tahu apa jawaban dari persoalan di dunia ini.

Sama halnya dengan Pam, dia (temen gue) dengan bangganya menceritakan ini semua ke teman-temannya, termasuk gue. Gue hanya ketawa cekikikan dan gue berpikir, sepertinya guru Mat ini akan kasih nilai minus 1 atau lainnya. Ternyata gue salah. Saat ulangan dibagikan, emang sih si mawar eh melati ini remed dengan nilai redah, tetapi lihatlah kebunku penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah dia mendapat poin 1 di jawaban-pintar pintar bego-menggelikkan itu. Sedangkan jika jawaban kita salah, gak diberi poin. Jadi semenjak itu, gue berpikir, lebih baik gue mengarang bebas saat gue tidak tahu jawabannya. 

Misalnya:
Dodit membeli sepuluh donat, ia memakan sembilan donat; dan memberi setengah kepada Didit. Maka, apakah yang Dodit dapatkan sekarang??
Jawab gue: Yang jelas Dodit bakal diabetes, bu. Didit kasian dong bu Cuma dapet setengah. DIMANAKAH KEADILAN ITU, BU?? Kenapa ibu hanya diam saja?? BUKANKAH KATA ORANG, ORANG YANG DIAM SAJA DITENGAH KETIDAKADILAN MENDAPATKAN HUKUMAN TERGELAP DI NERAKA? IBU MAU MASUK NERAKA? GAK KAN?! Maka, perjuangkan keadilan yang merata! SALAM SUER!

Niscaya,gue langsung ditabok oleh gurunya. Mantap.

Dan sekarang teori gue kedua #2: “Matematika adalah pelajaran mengarang; dan Bahasa Indonesia adalah pelajaran hafalan. Dunia sudah terbalik bro.” Mungkin ini mulai menuju akhir dunia, kawan.*JanganAmpeDehAmitAmit*

Balik lagi ke persoalan Pam. Meskipun ia mulai didiskriminasi sejak jawaban ‘Tanyakan Pada Rumput Yang Bergoyang’ pada guru agama gue, dia tetap tidak menyerah mempertahankan kodrat penggalan lirik lagu lama itu. (Fyi: Banyak pasti dari kalian tidak tahu asal muasal kalimat itu. Itu kalimat berasal dari lirik lagu Ebiet G, lupa gue judulnya). Ohiya, ‘Diskriminasi’? Maksudnya diskriminasi tuh, jadi semenjak kalimat itu, setiap kali nilai agamanya jelek, pasti guru agama dengan tersenyum miring semacam jahat gitusih, berkata
“Gak Nanya pada rumput yang bergoyang sih. Makanya jelek”

Entah apa reaksi Pam saat itu.

Meski sudah dicap sebagai ‘Anak Rumput Yang Bergoyang’, Pam tidak akan menyerah menegakkan keadilan penggalan lagu itu. Dia dengan santainya menjawab lagi di remedial UTS Agama – yang kebetulan gue ngecek tuh remedial.


Diatas kertas terdapat gambar rumput – entah rumput darat atau rumput laut; dan terdapat balon diatasnya bertulisan ‘Remember me?’. Gue ngakak ga ada habisnya. 'Pinter' (Pinter tanda kutip) blasteran bego sih itu. 

Jumat, 02 September 2016

Throwback Aja Terus

  Gue merupakan manusia yang mencintai sejarah. Saking cintanya, gue suka gak move on, entah setia entah bego. Terkadang throwback membuat kita merasakan kenyamanan masa lalu [KENYAMANAN MASA LALU EHEM], bisa juga membuat geli. Bisa jadi gue jadi satu dari sekian banyak orang yang suka banget throwback sesuatu. Bahkan di rumah gue, gue punya satu box yang isinya 'peninggalan-peninggalan' kejadian, dimana saat gue membukanya, gue bisa time travel dan merasakan rasa yang sama saat masa lalu.
Pantes aja kan, gue masih jomblo sampe sekarang. sedih.

  Nah, jadi, untuk menghormati masa lalu; gue bakal mepost tulisan-tulisan dua tahun yang lalu gue yang belum pernah di post di blog ini. Entah ada berapa, gue gak inget. Kalau gak salah sampai 5 entri; tapi yang jelas gue bakal ngepost satu-satu, di entri berbeda-beda. Kenangan itu :').
#sekarangguegaksempetlagikalinulis
#TugasYaoloRasanyaKekMatiRasa
#noregrets

The Fault in Our Minds

Ini gue gak tahu kapan buatnya, kira-kira Juni 2014. 
2 tahun yang lalu.

Hari-hari terus berlalu, buku baru datang dan kembali. Meledak sekarang, menjinak setengah tahun kemudian, diganti lagi dengan boomingnya novel baru selanjutnya. Begitu terus menerus tanpa henti seperti siklus air. Tapi sedihnya, novel itu gak bisa turun begitu saja, harus dibeli dulu, baru bisa dinikmati.

Dan gue, sebagai pembaca novel setengah setia (karena kadang gak setia juga, gak baca novel sampai habis) selalu menjadikan toko buku sebagai tempat paling favorit. Semakin banyak buku yang bagus-bagus dan lengkap, semakin banyak juga nerdfighter di dalamnya. Ya, Gramed Matramanlah toko buku favorit gue. Selain lengkap, toko buku itu juga (kadang gak boleh) memperbolehkan kita baca saja tanpa membeli. Yang menyenangkan sih kadang Gramed memberi discount-discount yang sangat menguntungkan. Apalagi gedung toko buku itu dikelilingi sama makanan, behhh mantap deh.

Tetapi kadang peristiwa paling gak enak itu ketika lu datang ke toko buku itu pada awal bulan, kemudian melihat novel-novel lama tak laku terjual ditaruh di lantai dan digantikan dengan novel-novel baru yang gak tentu laku terjual juga. Miris banget lihatnya. Apalagi kalau ke area parkiran, kemudian ketemu tenda besar. Di destinasi penyiksaan novel atau buku yang tak laku jual atau yang pembelinya bisa dihitung dengan jari, dimana awalnya mungkin seharga Rp. 30.000 sampai Rp. 40.000-an bertransformasi menjadi buku yang hanya seharga Rp. 5.000-an keatas dan bertema hanya untuk ‘Cuci Gudang’. Itu sakit banget.

Dan sesuatu yang gak mungkin kalau novel John Green jatuh ke barisan ‘Cuci Gudang’ karena novelnya laku keras sekali. Bahkan bisa gue prediksi, 70% remaja di dunia pasti kenal dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ karya John Green yang sangat laku keras di kalangan anak muda. Termasuk gue. Jadi sangat disayangkan kalau melewatkan filmnya yang rilis 6 Juni lalu, dan tanggal 25 Juni di Indonesia. Dan tentu sangat gak seru kalau gue menonton sendiri dan gak ada temen gila gue, Nicole dan kawan-kawan gue lainnya. Oleh sebab itu, gue mengajak mereka semua.
“GI DIMANA?! GUE LUPA!” Seru gue dalam hati. Gue lupa GI dimana.
“Oh iya di belakang sekolah...” seru jiwa kedua gue di dalam hati.
“Ke arah sekolah ya pak..” pinta gue ke supir gue.
“Oke oke” jawab supir gue yang kelihatannya sih mengerti, walau dia gak tahu jalan-jalan di Jakarta.
Kemudian, gue tersesat.

Singkat cerita, gue akhirnya sampai di GI setelah menanyakan beberapa manusia bumi.

Kita berkumpul di Starbucks, dan gue meminum Pulpy Orange yang gue bawa dari Indomaret – Yang kemudian gue baru tahu ternyata hal itu dilarang. Tapi pelayan disana cuek-cuek aja gue minum Pulpy Orange, gapeduli. Mungkin ketidakpedulian pelayan Starbucks itu menjadi motto kerja mereka. Nama kita salah tulis aja mereka cuek. Maka sekarang gue mempunyai pedoman cinta yang pertama: Jangan pernah pacaran sama Mas-Mas Starbucks, nama kita salah saja tidak dipeduliin, apa lagi lo.

Terkutuk sudah kau, mas-mas Starbucks. AHAHAHAHAHA! *ketawa jahat,sinis, dilanjut suara piano yang melankolis*

Setelah Selfie dengan tongsis sepanjang tongkat nenek sihir itu, kita langsung menonton TFIOS yang katanya sih, sedih. Gue yang sudah membaca novel itu hanya sedih dikit doang sih. Tapi percayalah, perasaan masing-masing jiwa itu beda-beda. Seandainya kalau perasaan setiap jiwa itu sama, tentu tak ada spesies Jomblonicus computerterus. Jadi intinya, spesies ini sudah direncanakan yang diatas. Hargailah rencana yang diatas, pls.

Lanjut ke perasaan orang beda-beda. Gue menonton film TFIOS cukup terharu dan tidak menjatuhkan satu tetes air matapun ke lapisan pipi. Di lain sisi, temen sebelah gue, Nicole, menangis. Dua kali. Tapi wajar sih. Banyak juga yang menangis, termasuk kaum Adam. Padahal gue bingung harus menangisi apa, yang cowo mati, tamat. Yang harus ditangisi tuh seharusnya sinetron-sinetron, yang cowo mati ditabrak, berlumuran darah, yang menabrak panik, kabur, kemudian dengan tambahan hujan deras si cewe berlari-lari sambil menangis mengangkat cowonya, dan berteriak, ‘TIDAKKK! *Dilanjutkan pidato panjang tentang dia dengan diri si cowo ini*’. Dramatisan mana?

Kemudian ketika momen menangis dan ditangisi, kami semua bubar jalan entah kemana. Ada yang pulang, ada yang shopping (BUKAN GUE YANG JELAS. GUE GAK SUKA SHOPPING), dan apa kabar dengan gue? Gue dan Nicole pergi ke Kidz Stations. Menurut penelitian Nicole, ketika kita berjalan mengelilingi mall ini, akan ada momen dimana alam semesta menyatukan kita dengan kehidupan orang lain alias, kita ketemu teman/guru/artis secara tidak sengaja. Bener. Tapi harapan kita tentang ‘Bertemu Artis’ gagal. Kita hanya bertemu dengan mahkluk bumi teman sekolah/dulu teman sekolah. Bukan bertemu guru/artis yang kita impikan. Tidak lama, kita sampai di Kidz Stations. Kita langsung jatuh hati ketika melihat boneka binatang yang terlihat asli. Kita yang seperti anak gak tahu diri, memainkan ini serta ketawa-ketiwi sendiri tanpa henti.
“Nic, coba pencet deh” suruh gue kepada Nicole untuk memencet tombol ‘try me’ di boneka bayi.
Dipencet keras sama Nicole pada bagian pinggangnya.
“KOK GAK MAU SIHH?” Nicole kesal.
Dibukalah rok mini boneka bayi itu.
“WOY NIK NGAPAIN??” Gue bingung kenapa harus membuka rok segala kemudian dipencet.
“INI GA BISA BUNYIIII” jawab Nicole sembari memencet badan-boneka-bayi-tak-berdosa-itu.
“mama!” teriak bayi itu. Mungkin kalau kisah di dunia nyata, bayi itu mau manggil mamanya, minta pertolongan atas perbuatan tidak seonoh itu.
“Yeyyy bisa!” Nicolepun senang.

Ternyata di kidz stations itu tak hanya memiliki satu jenis bayi saja, ada bayak jenis bayi. Mulai yang bisa ngomong ‘mama’ sampai nari-nari kayak bayi kebanyakan konsumsi whiskey. Sebenarnya gue bingung kenapa sang pembuat mainan harus membuat sedemikian rupa (kita harus memencet tubuh si bayi mainan terus-terusan sampai dia bisa bunyi). Inikan membuat generasi Pedofil. Cukup generasi Cabe-Cabean yang ada, plis jangan sampai generasi selanjutnya adalah GENERASI PEDOFIL KARENA MAINAN KALIAN INI! CUKUP. HENTIKAN PENCABULAN PADA BONEKA BERBENTUK BAYI!! JANGAN GANGGU HIDUP MEREKA LAGI! JANGAN PAKSA MEREKA BERKATA-KATA HAL-HAL GAK PENTING! AYO KITA DEMO!! TURUNKAN HARGA CABE!!!!!!!! #KokNgaco


Ahsu....dahlah.