Pages

Jumat, 02 September 2016

Throwback Aja Terus

  Gue merupakan manusia yang mencintai sejarah. Saking cintanya, gue suka gak move on, entah setia entah bego. Terkadang throwback membuat kita merasakan kenyamanan masa lalu [KENYAMANAN MASA LALU EHEM], bisa juga membuat geli. Bisa jadi gue jadi satu dari sekian banyak orang yang suka banget throwback sesuatu. Bahkan di rumah gue, gue punya satu box yang isinya 'peninggalan-peninggalan' kejadian, dimana saat gue membukanya, gue bisa time travel dan merasakan rasa yang sama saat masa lalu.
Pantes aja kan, gue masih jomblo sampe sekarang. sedih.

  Nah, jadi, untuk menghormati masa lalu; gue bakal mepost tulisan-tulisan dua tahun yang lalu gue yang belum pernah di post di blog ini. Entah ada berapa, gue gak inget. Kalau gak salah sampai 5 entri; tapi yang jelas gue bakal ngepost satu-satu, di entri berbeda-beda. Kenangan itu :').
#sekarangguegaksempetlagikalinulis
#TugasYaoloRasanyaKekMatiRasa
#noregrets

The Fault in Our Minds

Ini gue gak tahu kapan buatnya, kira-kira Juni 2014. 
2 tahun yang lalu.

Hari-hari terus berlalu, buku baru datang dan kembali. Meledak sekarang, menjinak setengah tahun kemudian, diganti lagi dengan boomingnya novel baru selanjutnya. Begitu terus menerus tanpa henti seperti siklus air. Tapi sedihnya, novel itu gak bisa turun begitu saja, harus dibeli dulu, baru bisa dinikmati.

Dan gue, sebagai pembaca novel setengah setia (karena kadang gak setia juga, gak baca novel sampai habis) selalu menjadikan toko buku sebagai tempat paling favorit. Semakin banyak buku yang bagus-bagus dan lengkap, semakin banyak juga nerdfighter di dalamnya. Ya, Gramed Matramanlah toko buku favorit gue. Selain lengkap, toko buku itu juga (kadang gak boleh) memperbolehkan kita baca saja tanpa membeli. Yang menyenangkan sih kadang Gramed memberi discount-discount yang sangat menguntungkan. Apalagi gedung toko buku itu dikelilingi sama makanan, behhh mantap deh.

Tetapi kadang peristiwa paling gak enak itu ketika lu datang ke toko buku itu pada awal bulan, kemudian melihat novel-novel lama tak laku terjual ditaruh di lantai dan digantikan dengan novel-novel baru yang gak tentu laku terjual juga. Miris banget lihatnya. Apalagi kalau ke area parkiran, kemudian ketemu tenda besar. Di destinasi penyiksaan novel atau buku yang tak laku jual atau yang pembelinya bisa dihitung dengan jari, dimana awalnya mungkin seharga Rp. 30.000 sampai Rp. 40.000-an bertransformasi menjadi buku yang hanya seharga Rp. 5.000-an keatas dan bertema hanya untuk ‘Cuci Gudang’. Itu sakit banget.

Dan sesuatu yang gak mungkin kalau novel John Green jatuh ke barisan ‘Cuci Gudang’ karena novelnya laku keras sekali. Bahkan bisa gue prediksi, 70% remaja di dunia pasti kenal dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ karya John Green yang sangat laku keras di kalangan anak muda. Termasuk gue. Jadi sangat disayangkan kalau melewatkan filmnya yang rilis 6 Juni lalu, dan tanggal 25 Juni di Indonesia. Dan tentu sangat gak seru kalau gue menonton sendiri dan gak ada temen gila gue, Nicole dan kawan-kawan gue lainnya. Oleh sebab itu, gue mengajak mereka semua.
“GI DIMANA?! GUE LUPA!” Seru gue dalam hati. Gue lupa GI dimana.
“Oh iya di belakang sekolah...” seru jiwa kedua gue di dalam hati.
“Ke arah sekolah ya pak..” pinta gue ke supir gue.
“Oke oke” jawab supir gue yang kelihatannya sih mengerti, walau dia gak tahu jalan-jalan di Jakarta.
Kemudian, gue tersesat.

Singkat cerita, gue akhirnya sampai di GI setelah menanyakan beberapa manusia bumi.

Kita berkumpul di Starbucks, dan gue meminum Pulpy Orange yang gue bawa dari Indomaret – Yang kemudian gue baru tahu ternyata hal itu dilarang. Tapi pelayan disana cuek-cuek aja gue minum Pulpy Orange, gapeduli. Mungkin ketidakpedulian pelayan Starbucks itu menjadi motto kerja mereka. Nama kita salah tulis aja mereka cuek. Maka sekarang gue mempunyai pedoman cinta yang pertama: Jangan pernah pacaran sama Mas-Mas Starbucks, nama kita salah saja tidak dipeduliin, apa lagi lo.

Terkutuk sudah kau, mas-mas Starbucks. AHAHAHAHAHA! *ketawa jahat,sinis, dilanjut suara piano yang melankolis*

Setelah Selfie dengan tongsis sepanjang tongkat nenek sihir itu, kita langsung menonton TFIOS yang katanya sih, sedih. Gue yang sudah membaca novel itu hanya sedih dikit doang sih. Tapi percayalah, perasaan masing-masing jiwa itu beda-beda. Seandainya kalau perasaan setiap jiwa itu sama, tentu tak ada spesies Jomblonicus computerterus. Jadi intinya, spesies ini sudah direncanakan yang diatas. Hargailah rencana yang diatas, pls.

Lanjut ke perasaan orang beda-beda. Gue menonton film TFIOS cukup terharu dan tidak menjatuhkan satu tetes air matapun ke lapisan pipi. Di lain sisi, temen sebelah gue, Nicole, menangis. Dua kali. Tapi wajar sih. Banyak juga yang menangis, termasuk kaum Adam. Padahal gue bingung harus menangisi apa, yang cowo mati, tamat. Yang harus ditangisi tuh seharusnya sinetron-sinetron, yang cowo mati ditabrak, berlumuran darah, yang menabrak panik, kabur, kemudian dengan tambahan hujan deras si cewe berlari-lari sambil menangis mengangkat cowonya, dan berteriak, ‘TIDAKKK! *Dilanjutkan pidato panjang tentang dia dengan diri si cowo ini*’. Dramatisan mana?

Kemudian ketika momen menangis dan ditangisi, kami semua bubar jalan entah kemana. Ada yang pulang, ada yang shopping (BUKAN GUE YANG JELAS. GUE GAK SUKA SHOPPING), dan apa kabar dengan gue? Gue dan Nicole pergi ke Kidz Stations. Menurut penelitian Nicole, ketika kita berjalan mengelilingi mall ini, akan ada momen dimana alam semesta menyatukan kita dengan kehidupan orang lain alias, kita ketemu teman/guru/artis secara tidak sengaja. Bener. Tapi harapan kita tentang ‘Bertemu Artis’ gagal. Kita hanya bertemu dengan mahkluk bumi teman sekolah/dulu teman sekolah. Bukan bertemu guru/artis yang kita impikan. Tidak lama, kita sampai di Kidz Stations. Kita langsung jatuh hati ketika melihat boneka binatang yang terlihat asli. Kita yang seperti anak gak tahu diri, memainkan ini serta ketawa-ketiwi sendiri tanpa henti.
“Nic, coba pencet deh” suruh gue kepada Nicole untuk memencet tombol ‘try me’ di boneka bayi.
Dipencet keras sama Nicole pada bagian pinggangnya.
“KOK GAK MAU SIHH?” Nicole kesal.
Dibukalah rok mini boneka bayi itu.
“WOY NIK NGAPAIN??” Gue bingung kenapa harus membuka rok segala kemudian dipencet.
“INI GA BISA BUNYIIII” jawab Nicole sembari memencet badan-boneka-bayi-tak-berdosa-itu.
“mama!” teriak bayi itu. Mungkin kalau kisah di dunia nyata, bayi itu mau manggil mamanya, minta pertolongan atas perbuatan tidak seonoh itu.
“Yeyyy bisa!” Nicolepun senang.

Ternyata di kidz stations itu tak hanya memiliki satu jenis bayi saja, ada bayak jenis bayi. Mulai yang bisa ngomong ‘mama’ sampai nari-nari kayak bayi kebanyakan konsumsi whiskey. Sebenarnya gue bingung kenapa sang pembuat mainan harus membuat sedemikian rupa (kita harus memencet tubuh si bayi mainan terus-terusan sampai dia bisa bunyi). Inikan membuat generasi Pedofil. Cukup generasi Cabe-Cabean yang ada, plis jangan sampai generasi selanjutnya adalah GENERASI PEDOFIL KARENA MAINAN KALIAN INI! CUKUP. HENTIKAN PENCABULAN PADA BONEKA BERBENTUK BAYI!! JANGAN GANGGU HIDUP MEREKA LAGI! JANGAN PAKSA MEREKA BERKATA-KATA HAL-HAL GAK PENTING! AYO KITA DEMO!! TURUNKAN HARGA CABE!!!!!!!! #KokNgaco


Ahsu....dahlah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar