"Mampus..Mampusssss... Mati... Mati" kata gue dalam hati yang
sangat cemas ketika melihat essay UTS Biologi.
"Gimana ya... Gak
bisa keluar nih. Harus hadapin kenyataan, REMEDIAL sudah" pikir gue.
Sampai sempat-sempatnya gue memikirkan cara escape dari
penderitaan ini. Tapi sayangnya, gue gak sepintar orang yang ada di escape
plan. Gue gak bisa ngehindar, gue harus hadapin.
Tapi, gak ada salahnya
kan jadi seperti Ray Breslin (tokoh utama di escape plan). Gue
mencoba membuat plan untuk menghindar:
1. Pura-pura kesurupan
(ini gue pernah baca dari komik komedi. Ini saran dia ketika tidak bisa UN)
2. Pura-pura pingsan
3. Lihat contekan.
4. Lambaikan tanganmu
pada kamera, maka bantuan akan segera datang.
Tapi keempat-empatnya
mustahil gue lakukan. Karena:
1. Sekali salah, fatal
sudah.
2. Alasannya sama kayak
nomor satu
3. Gue gak pernah buat
contekan. Toh juga gue itu anak jujur #ea. Gue kepikiran itu mungkin karena gue
lagi dibisikin setan.
Tapi tenang kok,
guru-guruku tercintah, saya, Maria Michelle Angelica absen 18 kelas 82, hobi:
tidur, tinggi: yang jelas pendek ini, tak pernah mencontek saat ULANGAN.
Ya, saat ulangan, tak
pernah.
Ya, ulangan. kkkkk
PR?
...
alasan keempat: Di
sekolah gue tidak ada kamera gaiz. Jadi, ga bisa lambaikan tangan.
Akhirnya gue
memilih untuk: JAWAB SEADANYA. Okefixsip.
Sebenarnya tidak susah
sih, alias, semuanya ada di buku, cuma aja itu sudah UTS terakhir, pelajaran
terakhir, yang membuat kita (iya, bukan cuma gue doang gak bisa. Nyaris
semuanya) malas belajar dan malah fokus ke yang lain. Apalagi ditambah besoknya
langsungggggg......
LIVE IN, BROH!
Yomann! Live in! 'Kan
jarang-jarang tuh teman-teman seangkatan bisa pergi bareng dalam jangka waktu
panjang. Dan kalau gue bilang, tak perlu ada peraturan 'diwajibkan' seluruhnya
sudah pasti ikut. Asik banget? Ga perlu ditanya. And we're so excited.
Tapi, ada sesuatu
yang ganjil dengan kelompok gue... Ketika kelompok lain bertempat tinggal di
desa yang memiliki 'teman' (Misal: Gantang I, Gantang II; Banyuurip I,
Banyuurip II,dsb) Cuma desa gue doang, Desa Gadung yang tidak kenal istilah
'Gadung II'. Nahloh. Jangan-jangan,
Terpencil.
Tapi, berpikir
positif aja. Toh juga teman-temannya semuanya asik-asik semua.. Sipdeh.
Kemudian, gue
melihat nama teman-teman yang berada di Bus 3, bus yang akan gue dudukin selama
12 jam.
Gue tercekat, diam.
Bukan karena ada gebetan gue disitu (gue gak punya gebetan, fyi), gue tercekat
karena SEMUA YANG ADA DI BUS GUE ITU ANAK-ANAK BRUTAL alias gak bisa diem
punya. Gerak mulu. HA - HA - HA. Beda banget dengan Bus 1, dimana anak-anaknya
alim semua.
Gue prediksi, pasti Bus
3 akan selalu online dan gak pernah offline, alias gak akan tidur. Dan benar saja.
Kalau kata pak
Fisis,
"Anak-anak, kalau
mau berisik, duduk di belakang. Biarkan anak-anak yang mau tidur di depan.
Jangan ganggu anak-anak yang mau tidur."
Tapi realitanya di bus
3, baik yang paling depan maupun tengah maupun belakang, berisik semua. Gue
salah satunya. Sampai-sampai guru pendamping di bus gue marah, menyuruh
semuanya diam dan tidak mengganggu orang yang sedang tidur, karena waktu menunjukkan
pukul malam menuju tengah malam.
Setelah itu baru diam.
Itupun masih ada suara samar-samar berisik. Mantap.
Tapi, kalau gue seorang
diri sih gak masalah dengan berisik. Gue bisa tidur dimana saja, kapan saja,
seberisik apapun. Toh namanya juga hobi.
---
Berangkat pukul
13.30, sampai pukul 08.00 esok hari.
Kita langsung disambut
oleh Romo setempat. Oh iya, gue lupa kasih tau, gue live in kemana.. gue live
in ke tempat yang pengen banget gue kunjungin dari kecil selain pantai yang
bersih dan luas, dan ini tak pernah terwujud. Yaitu: pergi ke YOGYAKARTA!
eh tunggu.
Yogya itu Fieldtripnya
(iya gue live in + Fieldtrip)
Oke, jadi gue live in
diiiiiiii: *Drum rolls* *jeng jeng jeng* MAGELANG! *ba dem tsss*<-- suara
drum.--
Romo paroki langsung
menyambut kami dengan gembira. Kemudian berbicara apa yang harus kita lakukan,
bla bla bla, dan lain sebagainya. Singkat cerita, desa gue yang disebut
terlebih dahulu untuk angkat tas dan kabur pergi ke desa
tsb. Tanda-tanda nih kalau desa kita paling jauh.
Kita pergi menggunakan truk pengangkut sapi.
Tapi versi bersih punya. Rada serem sih, soalnya, penutup belakang hanya
sebatas pergelangan kaki keatasan dikit. Jadi kalau pengemudinya rem mendadak,
kita-kita yang dibelakang bisa jatuh,
Tapi ternyata, masalah ‘rem mendadak’ itu
belum seberapa. Perjalanan menuju desa yang kita duga kuat itu terpencil, harus
melewati jalan tanah yang dilapisi debu dan kiri tebing dan kanan jurang yang
berakhir sungai kering penuh batu. Dan jalanannya hanya cukup satu truk.
Salah-salah, beh, nikmat.
Untung saja, Puji Tuhan
Halleluya Alhamdullilah, tak ada satupun dari kami yang mati. (diksinya keren
kan? Iya. Gue tahu itu)
Sesampainya disana, desa Gadung, sangat sepi,
sunyi, dan tenang. Tak begitu banyak batang hidung manusia yang terlihat. Kebanyakan
batang hidung sapi, anjing, dan ayam (walau batang hidung ayam tak terlihat,
karena kekecilan, kaum mereka, tetap gue hitung sebagai ‘makhluk yang gue lihat
batang hidungnya’).
Disini penuh rumah yang
berdinding kayu bambu. Begitu sederhana. Hanya ada beberapa rumah yang
berdinding batu, tapi bukan batu bata. Sekeliling mata memandang, hanya melihat
sapi dan sapi. Kita disambut oleh ibu kepala desa, yang ternyata ia adalah ibu
asuh gue. Rumahnya begitu sederhana, berdinding bambu, berubin tanah, dan
cahaya rumah hanya bermodal pada matahari dan satu lampu neon yang dinyalakan
saat malam hari saja. Bahkan dapur gelap gulita. Mereka tidak menggunakan
kompor, melainkan kayu bakar. Dan di dapur terdapat pintu, dimana ketika kita keluar,
kita akan bertatapan muka dengan sapi (jika sapi dikeluarkan dari kandangnya).
Pantas saja penuh lalat. Kamar yang gue tempati tak memiliki pintu, melainkan
hanya ditutupi sehelai kain alias hordeng. Tapi bagi gue yang biasa hidup
sederhana #ea, dalam artian, tidak hidup ditengah kemewahan, itu semua cukup
dan tidak kurang.
Kemudian setelah semuanya menaruh tas di
rumah masing-masing, tanpa aba-aba, kita semua (temen-temen sekolah yang hidup
sementara di desa Gadung ini) keluar dan kumpul pada satu titik. Kita bosan. Sepi.
Kita belum dapat pekerjaan, dengan alasan orangtua asuh kami: “Sudah, istirahat
dulu saja”. Padahal, kita mau kerja, mau bergerak. Kita sangat bosan.
Tapi, semua berubah ketika negara api
menyerang anak-anak SD pulang sekolah. Mereka dengan senang hati menerima
kami. Dan tanpa ada basa-basi pengenalan yang
lama, kita semua langsunggg... CAPCUS MAINN!
Mereka mengeluarkan kelereng, mengumpulkan
kelereng kedalam satu lingkaran yang muat seluruh kelereng. Yap, mereka main kelereng.
Gue, Nicole, Wesa, Ridwan melihat mereka main hingga beberapa sentilan,
kemudian dengan gagahnya, Ridwan langsung berkata:
“Eh ini. Aku bisa main
kelereng! Minta kelereng satu dong.” Pinta Ridwan dengan sifat sok-cowonya itu.
Yang foto itu gue loh. Penting. |
Diberilah ia kelereng
yang paling beda dari yang lain, yang biasa digunakan pemain. Kemudian, tibalah
gilirannya menyentil.
Tidak ada suara sentuhan
apa-apa. Tidak ada suara tabrakan dengan kelereng lain.
“Haha kamu tidak bisa.
Masa kalah sama anak SD!” ledek gadis cilik kelas 4 SD dengan suara medok khasnya,
yang meledek Ridwan karena kelerengnya meleset jauh. Kemudian dilanjutkan tawa
yang lain.
“GUE PASTI BISA!”
tentangnya.
“Dengan kecepatan
segini, dan gaya gravitasi sepuluh meter per sekon kuadrat, dan gaya gesek...hehehe”
lanjutnya mengingat Fisika, yang sebenarnya gak berguna saat main kelereng
kalau lu gak tahu massanya berapa, perubahan kecepatannya berapa, dan gaya
geseknya berapa. Dia cuma lagi pengen terlihat pintar saja.
“Apaan sih Rid..” samber
Nicole.
“Eh minta satu kelereng
dong. Nicole mau main” lanjutnya. Ia menyentil, dan sama seperti Ridwan, tidak
mengenai kelereng.
“Es samadengan Ve nol Te
plus setengah a te kuadrat (S=Vo.t+1/2 a.t2, rumus jarak)” Yeh ternyata Nicole
ikut-ikutan juga.
‘Plentang-Plenting’ suara
kelereng berbunyi.
“YES!!! YESS!!! DAPET! 3
KELERENG!!” Teriak Nicole kegirangan. Di lain sisi, anak SD yang main kelereng
itu, selalu mendapatkan lebih dari 5 kelereng.
Anak-anak SD hanya melihat Nicole dengan
sedikit senyum yang mungkin karena merasa lucu, ada anak yang lebih kampungan
daripada mereka.
Kemudian, setelah lama main kelereng, kita
main kartu. Tepuk nyamuk misalnya.
Oh, kalau main tepuk
nyamuk, kita ahlinya! YOMANNN kita menang mulu! Justru anak yang ledekin
Ridwan, yang katanya bisa main itu, kalah mulu. Dan Ridwan menang mulu.
{Ya, kawan, hidup tak
selalu di atas kasur, terkadang kita ngigau dan jatuh kebawah. Kalo masih ada
niat bangun, bangunlah. Kalo masih ngantuk, yo
wes tidur aja dibawah. Biar masuk angin *eh.}
Hari pertama kita habiskan dengan beradaptasi
dengan sekitar, bermain, dan berkeliling ladang. Belum banyak kerjaan di hari
pertama.
Kita bercakap-cakap
dengan orangtua – bermain dengan anak-anak desa – bercanda –melihat – beradaptasi
.. Hingga keseruan kami tak mau menyadarkan kami kalau hari mulai berganti
malam. Pukul 4 sore, katanya sih sudah mulai dingin dan pukul 6 malam sudah
gelap gulita. Maka, kami memilih yang aman, mandi pukul 3 sore. Gue bingung
dengan kamar mandi disini. Di setiap rumah tak ada yang namanya ‘Kamar Mandi
dalam Rumah’. Semuanya diluar atau paling tidak, Kamar Mandi Umum. Ada 2 kamar
mandi umum berpintu dan ada 2 kamar mandi tidak. Yang tidak berpintu itu
maksudnya apaaaaa.... APAAAA????
Yang jelas, gue mandi di
tempat yang berpintu.
Soal mandi beres. Saatnya makan malam.
Makanan disini itu sangatlah enak dan lezat. Bukan peracik/dihidang sedemikian
mewah sehingga enak, tidak. Emang karena makanan dasarnya seperti tahu, tempe,
sayur itu enak-enak semua, yaiyalah, langsung dari kebun! Setelah makan,
katanya ada doa rosario (doa kepada Ibu Maria, Ibunda Yesus. Atau pada agama
Muslim sebutnya, Miriam, ya kan ya?). Tentu, gue datang. Lah, namanya bersekutu
dalam doa, masa ga ikut sih? Yakali..
Tentu yang ada di pikiran gue saat doa
rosario adalah, doa yang khusuk, saling bergumam (berdoa) kadang-kadang, dan
bergantian mendoakan ‘salam Maria’, seperti doa di lingkungan gue, dan tentu
pasti menggunakan bahasa Indonesia.
“(bahasa Jawa) Buka puji
syukur nomor 450” kata pemimpin doa.
Dengan reflek gue
menjawab,
“Ha??”
Kemudian mereka sadar
ada kita, anak-anak kota yang gak ngerti bahasa Jawa. Iapun mengatakannya
dengan bahasa Indonesia. Oh palingan cuma awal doang pakai bahasa Jawa. Nyanyi,
bahasa Jawa juga? Ah palingan itu doang, karena puji syukurnya bahasa Jawa. Kemudian
pemimpin doa mengucapkan Aku Percaya..
Kawula pitados ing Allah, Rama Sang Mahakuwasa, ingkang nitahaken bumi langit.Saha ing Gusti Yesus Kristus, Putra Dalem ontang-anting, Pangeran kawula.Ingkang miyos saking Ibu Kenya Maria, kagarba dening kuwasa Dalem Hyang Roh Suci.Ingkang nandhang sangsara nalika jamanipun Ponsius Pilatus, saha kapenthang, seda sarta kasarekaken..........
Kita semua saling
bertatap muka. KITA GAK NGERTI! NGOMONG OPO TOH???? Gue hanya bolak balik puji
syukur jawa ini. Beberapa dari kami tertidur di tengah doa, seperti Esco, yang
tertidur hingga ngorok.
Hari pertama, penuh
dengan kecanggungan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar