Pages

Minggu, 19 Oktober 2014

Live In! Part 1

"Mampus..Mampusssss... Mati... Mati" kata gue dalam hati yang sangat cemas ketika melihat essay UTS Biologi. 
"Gimana ya... Gak bisa keluar nih. Harus hadapin kenyataan, REMEDIAL sudah" pikir gue. Sampai sempat-sempatnya gue memikirkan cara escape dari penderitaan ini. Tapi sayangnya, gue gak sepintar orang yang ada di escape plan. Gue gak bisa ngehindar, gue harus hadapin.

Tapi, gak ada salahnya kan jadi seperti Ray Breslin (tokoh utama di escape plan). Gue mencoba membuat plan untuk menghindar: 
1. Pura-pura kesurupan (ini gue pernah baca dari komik komedi. Ini saran dia ketika tidak bisa UN)
2. Pura-pura pingsan
3. Lihat contekan. 
4. Lambaikan tanganmu pada kamera, maka bantuan akan segera datang. 

Tapi keempat-empatnya mustahil gue lakukan. Karena:
1. Sekali salah, fatal sudah. 
2. Alasannya sama kayak nomor satu
3. Gue gak pernah buat contekan. Toh juga gue itu anak jujur #ea. Gue kepikiran itu mungkin karena gue lagi dibisikin setan. 
Tapi tenang kok, guru-guruku tercintah, saya, Maria Michelle Angelica absen 18 kelas 82, hobi: tidur, tinggi: yang jelas pendek ini, tak pernah mencontek saat ULANGAN
Ya, saat ulangan, tak pernah. 
Ya, ulangan. kkkkk
PR?
...

 alasan keempat: Di sekolah gue tidak ada kamera gaiz. Jadi, ga bisa lambaikan tangan. 

  Akhirnya gue memilih untuk: JAWAB SEADANYA. Okefixsip. 
Sebenarnya tidak susah sih, alias, semuanya ada di buku, cuma aja itu sudah UTS terakhir, pelajaran terakhir, yang membuat kita (iya, bukan cuma gue doang gak bisa. Nyaris semuanya) malas belajar dan malah fokus ke yang lain. Apalagi ditambah besoknya langsungggggg......
LIVE IN, BROH!
Yomann! Live in! 'Kan jarang-jarang tuh teman-teman seangkatan bisa pergi bareng dalam jangka waktu panjang. Dan kalau gue bilang, tak perlu ada peraturan 'diwajibkan' seluruhnya sudah pasti ikut. Asik banget? Ga perlu ditanya. And we're so excited. 
  Tapi, ada sesuatu yang ganjil dengan kelompok gue... Ketika kelompok lain bertempat tinggal di desa yang memiliki 'teman' (Misal: Gantang I, Gantang II; Banyuurip I, Banyuurip II,dsb) Cuma desa gue doang, Desa Gadung yang tidak kenal istilah 'Gadung II'. Nahloh. Jangan-jangan, 
Terpencil.

  Tapi, berpikir positif aja. Toh juga teman-temannya semuanya asik-asik semua.. Sipdeh.

  Kemudian, gue melihat nama teman-teman yang berada di Bus 3, bus yang akan gue dudukin selama 12 jam. 
Gue tercekat, diam. Bukan karena ada gebetan gue disitu (gue gak punya gebetan, fyi), gue tercekat karena SEMUA YANG ADA DI BUS GUE ITU ANAK-ANAK BRUTAL alias gak bisa diem punya. Gerak mulu. HA - HA - HA. Beda banget dengan Bus 1, dimana anak-anaknya alim semua. 

Gue prediksi, pasti Bus 3 akan selalu online dan gak pernah offline, alias gak akan tidur. Dan benar saja. 
Kalau kata pak Fisis, 
"Anak-anak, kalau mau berisik, duduk di belakang. Biarkan anak-anak yang mau tidur di depan. Jangan ganggu anak-anak yang mau tidur."
Tapi realitanya di bus 3, baik yang paling depan maupun tengah maupun belakang, berisik semua. Gue salah satunya. Sampai-sampai guru pendamping di bus gue marah, menyuruh semuanya diam dan tidak mengganggu orang yang sedang tidur, karena waktu menunjukkan pukul malam menuju tengah malam. 
Setelah itu baru diam. Itupun masih ada suara samar-samar berisik. Mantap. 
Tapi, kalau gue seorang diri sih gak masalah dengan berisik. Gue bisa tidur dimana saja, kapan saja, seberisik apapun. Toh namanya juga hobi. 
---
  Berangkat pukul 13.30, sampai pukul 08.00 esok hari. 
Kita langsung disambut oleh Romo setempat. Oh iya, gue lupa kasih tau, gue live in kemana.. gue live in ke tempat yang pengen banget gue kunjungin dari kecil selain pantai yang bersih dan luas, dan ini tak pernah terwujud. Yaitu: pergi ke YOGYAKARTA! 

eh tunggu. 

Yogya itu Fieldtripnya (iya gue live in + Fieldtrip)
Oke, jadi gue live in diiiiiiii: *Drum rolls* *jeng jeng jeng* MAGELANG! *ba dem tsss*<-- suara drum.--

Romo paroki langsung menyambut kami dengan gembira. Kemudian berbicara apa yang harus kita lakukan, bla bla bla, dan lain sebagainya. Singkat cerita, desa gue yang disebut terlebih dahulu untuk angkat tas dan kabur  pergi ke desa tsb. Tanda-tanda nih kalau desa kita paling jauh.

  Kita pergi menggunakan truk pengangkut sapi. Tapi versi bersih punya. Rada serem sih, soalnya, penutup belakang hanya sebatas pergelangan kaki keatasan dikit. Jadi kalau pengemudinya rem mendadak, kita-kita yang dibelakang bisa jatuh,
Dan mati.
  Tapi ternyata, masalah ‘rem mendadak’ itu belum seberapa. Perjalanan menuju desa yang kita duga kuat itu terpencil, harus melewati jalan tanah yang dilapisi debu dan kiri tebing dan kanan jurang yang berakhir sungai kering penuh batu. Dan jalanannya hanya cukup satu truk. Salah-salah, beh, nikmat.
Untung saja, Puji Tuhan Halleluya Alhamdullilah, tak ada satupun dari kami yang mati. (diksinya keren kan? Iya. Gue tahu itu)

  Sesampainya disana, desa Gadung, sangat sepi, sunyi, dan tenang. Tak begitu banyak batang hidung manusia yang terlihat. Kebanyakan batang hidung sapi, anjing, dan ayam (walau batang hidung ayam tak terlihat, karena kekecilan, kaum mereka, tetap gue hitung sebagai ‘makhluk yang gue lihat batang hidungnya’).
Disini penuh rumah yang berdinding kayu bambu. Begitu sederhana. Hanya ada beberapa rumah yang berdinding batu, tapi bukan batu bata. Sekeliling mata memandang, hanya melihat sapi dan sapi. Kita disambut oleh ibu kepala desa, yang ternyata ia adalah ibu asuh gue. Rumahnya begitu sederhana, berdinding bambu, berubin tanah, dan cahaya rumah hanya bermodal pada matahari dan satu lampu neon yang dinyalakan saat malam hari saja. Bahkan dapur gelap gulita. Mereka tidak menggunakan kompor, melainkan kayu bakar. Dan di dapur terdapat pintu, dimana ketika kita keluar, kita akan bertatapan muka dengan sapi (jika sapi dikeluarkan dari kandangnya). Pantas saja penuh lalat. Kamar yang gue tempati tak memiliki pintu, melainkan hanya ditutupi sehelai kain alias hordeng. Tapi bagi gue yang biasa hidup sederhana #ea, dalam artian, tidak hidup ditengah kemewahan, itu semua cukup dan tidak kurang.

  Kemudian setelah semuanya menaruh tas di rumah masing-masing, tanpa aba-aba, kita semua (temen-temen sekolah yang hidup sementara di desa Gadung ini) keluar dan kumpul pada satu titik. Kita bosan. Sepi. Kita belum dapat pekerjaan, dengan alasan orangtua asuh kami: “Sudah, istirahat dulu saja”. Padahal, kita mau kerja, mau bergerak. Kita sangat bosan.
  Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang anak-anak SD pulang sekolah. Mereka dengan senang hati menerima kami. Dan tanpa ada basa-basi pengenalan yang  lama, kita semua langsunggg... CAPCUS MAINN!

  Mereka mengeluarkan kelereng, mengumpulkan kelereng kedalam satu lingkaran yang muat seluruh kelereng. Yap, mereka main kelereng. Gue, Nicole, Wesa, Ridwan melihat mereka main hingga beberapa sentilan, kemudian dengan gagahnya, Ridwan langsung berkata:

“Eh ini. Aku bisa main kelereng! Minta kelereng satu dong.” Pinta Ridwan dengan sifat sok-cowonya itu.

Yang foto itu gue loh. Penting. 


Diberilah ia kelereng yang paling beda dari yang lain, yang biasa digunakan pemain. Kemudian, tibalah gilirannya menyentil.
Tidak ada suara sentuhan apa-apa. Tidak ada suara tabrakan dengan kelereng lain.

“Haha kamu tidak bisa. Masa kalah sama anak SD!” ledek gadis cilik kelas 4 SD dengan suara medok khasnya, yang meledek Ridwan karena kelerengnya meleset jauh. Kemudian dilanjutkan tawa yang lain.

“GUE PASTI BISA!” tentangnya.
“Dengan kecepatan segini, dan gaya gravitasi sepuluh meter per sekon kuadrat, dan gaya gesek...hehehe” lanjutnya mengingat Fisika, yang sebenarnya gak berguna saat main kelereng kalau lu gak tahu massanya berapa, perubahan kecepatannya berapa, dan gaya geseknya berapa. Dia cuma lagi pengen terlihat pintar saja.

“Apaan sih Rid..” samber Nicole.
“Eh minta satu kelereng dong. Nicole mau main” lanjutnya. Ia menyentil, dan sama seperti Ridwan, tidak mengenai kelereng.

“Es samadengan Ve nol Te plus setengah a te kuadrat (S=Vo.t+1/2 a.t2, rumus jarak)” Yeh ternyata Nicole ikut-ikutan juga.
‘Plentang-Plenting’ suara kelereng berbunyi.

“YES!!! YESS!!! DAPET! 3 KELERENG!!” Teriak Nicole kegirangan. Di lain sisi, anak SD yang main kelereng itu, selalu mendapatkan lebih dari 5 kelereng.

  Anak-anak SD hanya melihat Nicole dengan sedikit senyum yang mungkin karena merasa lucu, ada anak yang lebih kampungan daripada mereka.

  Kemudian, setelah lama main kelereng, kita main kartu. Tepuk nyamuk misalnya.
Oh, kalau main tepuk nyamuk, kita ahlinya! YOMANNN kita menang mulu! Justru anak yang ledekin Ridwan, yang katanya bisa main itu, kalah mulu. Dan Ridwan menang mulu.

{Ya, kawan, hidup tak selalu di atas kasur, terkadang kita ngigau dan jatuh kebawah. Kalo masih ada niat bangun, bangunlah. Kalo masih ngantuk, yo wes tidur aja dibawah. Biar masuk angin *eh.}

  Hari pertama kita habiskan dengan beradaptasi dengan sekitar, bermain, dan berkeliling ladang. Belum banyak kerjaan di hari pertama.
Kita bercakap-cakap dengan orangtua – bermain dengan anak-anak desa – bercanda –melihat – beradaptasi .. Hingga keseruan kami tak mau menyadarkan kami kalau hari mulai berganti malam. Pukul 4 sore, katanya sih sudah mulai dingin dan pukul 6 malam sudah gelap gulita. Maka, kami memilih yang aman, mandi pukul 3 sore. Gue bingung dengan kamar mandi disini. Di setiap rumah tak ada yang namanya ‘Kamar Mandi dalam Rumah’. Semuanya diluar atau paling tidak, Kamar Mandi Umum. Ada 2 kamar mandi umum berpintu dan ada 2 kamar mandi tidak. Yang tidak berpintu itu maksudnya apaaaaa.... APAAAA????   
Yang jelas, gue mandi di tempat yang berpintu.

  Soal mandi beres. Saatnya makan malam. Makanan disini itu sangatlah enak dan lezat. Bukan peracik/dihidang sedemikian mewah sehingga enak, tidak. Emang karena makanan dasarnya seperti tahu, tempe, sayur itu enak-enak semua, yaiyalah, langsung dari kebun! Setelah makan, katanya ada doa rosario (doa kepada Ibu Maria, Ibunda Yesus. Atau pada agama Muslim sebutnya, Miriam, ya kan ya?). Tentu, gue datang. Lah, namanya bersekutu dalam doa, masa ga ikut sih? Yakali..

  Tentu yang ada di pikiran gue saat doa rosario adalah, doa yang khusuk, saling bergumam (berdoa) kadang-kadang, dan bergantian mendoakan ‘salam Maria’, seperti doa di lingkungan gue, dan tentu pasti menggunakan bahasa Indonesia.

“(bahasa Jawa) Buka puji syukur nomor 450” kata pemimpin doa.

Dengan reflek gue menjawab,
“Ha??”

Kemudian mereka sadar ada kita, anak-anak kota yang gak ngerti bahasa Jawa. Iapun mengatakannya dengan bahasa Indonesia. Oh palingan cuma awal doang pakai bahasa Jawa. Nyanyi, bahasa Jawa juga? Ah palingan itu doang, karena puji syukurnya bahasa Jawa. Kemudian pemimpin doa mengucapkan Aku Percaya..

Kawula pitados ing Allah, Rama Sang Mahakuwasa, ingkang nitahaken bumi langit. 
Saha ing Gusti Yesus Kristus, Putra Dalem ontang-anting, Pangeran kawula. 
Ingkang miyos saking Ibu Kenya Maria, kagarba dening kuwasa Dalem Hyang Roh Suci. 
Ingkang nandhang sangsara nalika jamanipun Ponsius Pilatus, saha kapenthang, seda sarta kasarekaken.......... 

Kita semua saling bertatap muka. KITA GAK NGERTI! NGOMONG OPO TOH???? Gue hanya bolak balik puji syukur jawa ini. Beberapa dari kami tertidur di tengah doa, seperti Esco, yang tertidur hingga ngorok.

Hari pertama, penuh dengan kecanggungan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar